LAMPUKI ARAFAT NUR, NOVEL TERBAIK KLA 2011
Arafat Nur - Lampuki |
LAMPUKI ARAFAT NUR, NOVEL TERBAIK KLA 2011 - ARAFAT NUR, salah seorang penulis Aceh paling produktif kembali meraih penghargaan bidang sastra yang tergolong fenomenal. Kali ini untuk novel ‘kontroversi’-nya; Lampuki.
Lampuki mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011 untuk kategori fiksi. Keberhasilan Arafat mendapatkan penghargaan bergengsi itu diumumkan oleh tim juri KLA 2011 di Atrium Plaza Senayan, Jakarta, Rabu 9 November 2011. Selain semakin mengukuhkan dirinya sebagai salah seorang penulis terbaik di jagad sastra nasional, Arafat juga berhak mengantongi uang tunai Rp 50 juta dari panitia KLA.
KLA 2011 mengumumkan dua kategori pemenang, yaitu kategori puisi diraih masing-masing oleh Avianti Armand (Perempuan yang Dihapus Namanya) dan Nirwan Dewanto (Buli-buli Lima Kaki). Sedangkan untuk kategori fiksi diraih Arafat Nur (Lampuki).
Novel Lampuki ternyata mampu mengalahkan empat karya penulis kawakan lain yang sebelumnya masuk lima besar bersama Arafat, yaitu Remy Sylado (Hotel Prodeo), Cok Sawitri (Tantri, Perempuan yang Bercerita), Seno Joko Suyono (Tak Ada Santo dari Sirkus), dan Okky Madasari (86).
“Saya senang meraih penghargaan ini. Namun saya lebih senang lagi jika Lampuki bisa dibaca oleh banyak orang. Ini tujuan saya menulis novel,” kata Arafat Nur kepada Serambi di Lhokseumawe, Kamis (10/11).
Novel Lampuki, seperti dilansir sejumlah media dan dibenarkan oleh Arafat, banyak menuai hujatan dari pembaca. Hujatan itu umumnya disuarakan oleh orang-orang yang merasa tersindir oleh muatan cerita dalam novel ini. Bahkan, kata Arafat, ada yang menilai Lampuki ‘nyerempet-nyerempet’ karya cabul.
“Saya membiarkan saja mereka yang menghujat karena mereka tidak mengerti. Mereka yang menghujat tidak memahami isi Lampuki. Mereka menghujat juga karena judul yang dianggap luncah,” kata Arafat Nur sebagaimana pernah dikutip The Atjeh Post. “Selain yang menghujat, tak sedikit pula yang memberikan apresiasi dan pujian,” lanjut Arafat.
Lampuki, menurut Arafat bercerita tentang kerumitan sebuah kampung ketika Aceh sedang bergejolak. “Terlalu ngeri mengingatnya, apalagi menceritakan satu per satu kejadian yang masih kental terekam dalam ingatan,” kata Arafat.
Ketika novel yang juga meraih hadiah DKJ 2010 itu dibedah di Pustaka Rumah Cahaya Banda Aceh, bulan lalu, juga diangkat berbagai sisi menarik Lampuki, di antaranya banyak menggunakan simbol, seperti Si Kumis untuk Ahmadi, Si Rupawan untuk Jibral, Si Pesek untuk para tentara dari Jawa (Paijo, Sukiman) dan lain-lain. “Ini sesuatu hal yang tidak bisa menginspirasi dalam sastra,” ujar Mohammad al Azhir, Pengurus Forum Lingkar Pena Aceh yang berperan sebagai narasumber saat bedah novel tersebut.
Lampuki juga tergolong berani. Seperti tersurat pada kalimat berikut; “Oleh sebab itu pula, alam perkampungan Lampuki sekarang lebih hijau dan penduduknya semakin terbelakang, miskin, kumuh, sehingga watak mereka yang asli semakin tampak; pemalas, nyinyir, kasar, suka memaki, pemberang, dan cepat naik darah. Namun, ketika menghadapi para tentara, tubuh mereka membungkuk-bungkuk, meringkuk, dan kepala mereka merunduk seperti sahaya hina, budak yang tak ada harga.
Keberanian seperti untaian kalimat di atas hanya memungkinkan jika penulisnya dari daerah setempat, seperti Arafat Nur. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh narasumber yang membedah novel tersebut, “Orang luar yang berani menulis kelemahan sebuah suku, pasti sudah sakit jiwanya dan riwayatnya tidaklah panjang.
============
Sumber : serambinews.com
foto : google images
lampuki, menarik sepertinya untuk dibaca.
ReplyDeleteSangat Berguna Artikel ini, Makasih admin ??
ReplyDelete