GELIAT SAUDAGAR ACEH TEMPO DOELOE
GELIAT SAUDAGAR ACEH TEMPO DOELOE
Oleh : Iskandar Norman
Saudagar Aceh tempo dulu, Hotel Aceh |
GELIAT SAUDAGAR ACEH TEMPO DOELOE - Pada awal masa kemerdekaan sudagar Aceh telah berperan banyak dalam menopang Republik Indonesia yang baru lahir. Namun mereka kemudian diabaikan.
Para saudagar Aceh sering menerobos blokade angkatan laut Belanda untuk menyeludupkan barang dagangan ke Semenanjung Malaysia. Ketika kontak dengan Jakarta tersedat, Residen Aceh mengeluarkan mata uang sendiri, meski kemudian hak para saudagar Aceh itu diabaikan. Hutang mereka ditolak pembayarannya oleh pemerintah.
Sebuah kisah perjudian nasib dilakoni para saudagar Aceh. Untuk bisa menjual karet, getah dan komoditas lainnya ke Malaysia dan Singapura, para eksportir asal Aceh mesti bertarung di lautan dengan angkatan laut Belanda di Selat Malaka.
Penjualan barang ke Malaysia dan Singapura untuk mendanai republik tersebut, lebih tepatnya disebut sebagai penyeludupan. Setiap saat kapal yang membawa barang ke negeri jiran itu, harus mengelabui armada angkatan laut Belanda yang berpatroli di Selat Malaka.
Salah satu yang sangat fenomenal adalah usaha penyeludupan karet pengusaha asal Aceh oleh Jhon Lie, warga Indonesia keturunan Cina asal Menado ini mendapat perintah dari Menteri Pertahanan RI, Mr Ali Budiardjo untuk menjual kareta asal Aceh ke Semenanjung Malaysia. Hasil penjualan karet milik saudagar Aceh itu digunakan untuk membiayai perjalanan keliling dunia Menteri Luar Negeri RI, H Agus Salim.
Beberapa saudagar Aceh yang memainkan peranan dalam kontak dagang dengan negeri jiran itu antara lain, Muhammad Saman dari PT Puspa, Nyak Neh dari Lho’ Nga Co, Muhammad Hasan dari Perdagangan Indonesia Muda (PIM) dan Abdul Gani dari Mutiara.
Barang-barang seludupan saudagar Aceh tersebut dikoordinir oleh Oesman Adamy dan diseludupkan oleh Jhon Lie. Sampai di Semenanjung Malaysia barang-barang tersebut ditampung oleh pengusaha asal Aceh, diantaranya Teuku Makam, Ja’far Hanafiah, dan Ali Basyah Tawi.
Dalam perniagaan tersebut, awalnya menggunakan alat tukar uang Republik Indonesia. Tapi karena faktor keamanan yang semakin memburuk, maka daerah keresidenan Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Saat dimasukkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1948 juga mengeluarkan uang kertas sendiri.
Untuk menopang perekonomian, serta sebagai alat transaksi, selama tujuh hari saja, 2 sampai 8 Mei 1949, dicetak uang rupiah oripsui sebayak 156.750.000 yang terdiri atas 405.000 lembar Rupiah Oripsu 250, dan 111.000 lembar Rupiah Oripsu 500.
Adalah Abdul Muid, pegawai keuangan yang bertanggungjawab atas percetakan dan pengedaran uang oripsu tersebut. Selain itu ia juga bertugas mempertahankan nilai banding uang oripsu dengan dolar Singapura.
Namun keseimbangan antara uang Oripsu dengan Dolar Singapura tidak dapat dipertahankan. Akhirnya pada 16 Mei 1949, dikeluarkanlah ketetapan GSO nomor 302/RI tentang penetapan penarikan uang Oripsu sebnayak 500.000.000. Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga barang setiap hari. Berkurangnya impor barang yang diperlukan. Akibatnya biaya hidup semakin meningkat.
Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah mengambil beberapa tindakan, diantaranya pembentukan suatu badan penyehatan yang diketuai oleh M Nur El Ibrahimi. Tugas badan ini mempertinggi produksi barang dalam negeri dan impor barang yang dibutuhkan dari luar negeri.
Larangan Ekspor
Namun nasib para eksportir Aceh yang menyokong pembiayaan republik tersebut akhirnya terpuruk, karena pada 22 September 1949, Syarifuddin Prawira Negara mengeluarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri nomor 2/1949/WPM, yang isinya melarang adanya aktivitas ekspor barang dari daerah Sumatera Utara.
Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana Mentreri tanggal 17 Oktober 1949 nomor 1/1949/WPM, yang mencabut ketetapan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera, tanggal 14 Agustus 1948 nomor 7, yang mengatur soal pengutipan bea ekspor dan perhitungan dolar untuk hasil bumi.
Kebijaksanaan yang diambil oleh Wakil Perdana Menteri tersebut bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang diambil oleh pemerintah daerah soal ekspor impor barang dari dan ke Semenanjung Malaysia.
Lebih ironis lagi, para saudagar Aceh yang melakukan kontak dagang pengusaha di Semenanjung Malaysia, setelah Indonesia benar-benar merdeka tidak memperoleh perlakuan yang wajar dari pemerintah. Hutan getah yang masih harus diperoleh dari pemerintah atas dasar perjanjian jual beli, ditolak pembayarannya.
Hanya Muhammad Saman yang berhasil memperoleh haknya setelah menggugat pemerintah ke pengadilan. Sementara Abdul Gani Mutiara, Nyak Neh, dan Muhammad Hasan tidak memperoleh pembayaran hutang dari negara. Hak mereka atas perjanjian jual beli ditolak pembayarannya. Untuk memperoleh haknya, para saudagar itu pun menuntut pemerintah ke pengadilan, tapi gagal.
Pengadilan Negeri Jakarta Raya, melalui putusan nomor 335/1952 g, tanggal 13 Juli 1965, menolak tuntutan Nyak Neh dengan alasan gubernur mempunyai kedudukan istimewa, tidak dapat dituntut ke muka hakim. Alasan lainnya, tuntutan tersebut akan menjatuhkan wibawa gubernur selaku wakil pemerintah pusat di Aceh.
Nyak Neh kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi, Jakarta, namun lagi-lagi kandas. Melalui putusan nomor 212/1966 PT perdata tanggal 31 Oktober 1966, Pengadilan Tinggi Jakarta dalam amar putusannya menolak upaya banding tersebut.
Namun Nyak Neh tidak berhenti sampai disitu, ia pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namum Mahkamah Agung dalam putusannya 5 Februari 1969 Reg No 10 K/Sip/1968, menolak kasasi tersebut. Lagi-lagi pemerintah berkelit untuk membayar hutangnya pada para saudagar Aceh.
Markam dan Monas
Nasib saudagar Aceh lainnya yang paling miris dialami Teuku Markam, penyumbang 28 kilogram emas dari 38 kilo emas yang dipasang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas). Markam juga ikut membebaskan lahan di Senanyan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar di Indonesia.
Pada masanya, ia memiliki sejumlah kapal dan dok kapal di Jakarta, Makasar, Medan dan Palembang. Ia juga eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang, eksportir plat baja, besi beton, sampai senjata untuk militer. Namun, pada masa orde baru, ia disingkirkan. Ia ditahan delapan tahun penjara atas tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) dan meninggal pada tahun 1985.
Konggres Saudagar Aceh
Untuk membangkitkan kembali gairah ekpor barang dari Aceh, pada 28 Juli 2007 lalu dilaksanakan Konggres Saudagar Aceh Serantau (KSAS). Hal itu juga bertujuan untuk mendorong percepatan ekonomi Aceh pascakonflik dan tsunami.
Tak tanggung-tanggung 300 saudagar Aceh dari senatero dunia berkumpul di Banda Aceh. Melalui konggres itu mereka ingin menggaet investor luar untuk masuk ke Aceh.
Pertemuan para saudagar Aceh tersebut bertujuan untuk menggairahkan kembali dunia usaha Aceh yang terpuruk akibat konflik berkepanjangan plus musibah maha dahsyat pada akhir tahun 2004 lalu. Selain itu, konggres tersebut juga diharapkan dapat merangsang investasi masuk ke Aceh.
Sebagai pembicara dalam acara tersebut hadirkan dari kalangan pengusaha sukses, birokrat dan pengamat ekonomi, diantaranya: Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, pengusaha sukses asal Aceh seperti: Abdul Latif (Pasar Raya Group), Ibrahim Risyad (kolongmerat), Surya Paloh (Media Group), H Nur Nikmat dan Said Umar (Kodel Group), Datok Tan Sri Sanusi Juned dari Malaysia, serta beberapa tokoh Aceh lainnya.
Bukan itu saja, untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Pemerintah Aceh juga berupaya mendatangkan investor dari luar negeri. Seperti pada Sabtu, 25 Mei 2007 lalu, Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Gubernur Jeju, Korea Selatan. Kerjasama yang dijalin meliputi bidang pengembangan ekonomi, listrik, air, serta pemamfaatan tekhnologi untuk mempercepat pembangunan di Aceh.
Namun sayangnya, hingga kini, tak banyak saudagar yang benar-benar menanamkan investasinya di Aceh. penyebabnya, selain faktor politik, juga kesiaoan daerah yang dinilai belum memadai. Daintarnya adalah persoalan listrik dan birokrasi yang panjang. Walhasil, sampai sekarang, saudagar-saudagar asal Aceh lebih banyak berkecimpung di luar daerah, tinimbang berinvestasi di tanah leluhurnya.
Post a Comment